Ditulis Pa Mahendra sendiri...

Di Aloysius emang terjadi PHK dan MUTASI yang terbagi atas:

1. Pemutusan kontrak kerja terhadap guru-guru honorer, yang biasanya kontraknya berlaku setahun, kalau masih terpakai diperpanjang, bila dianggap tak terpakai lagi, dihentikan. Pemutusan kontrak seperti ini dialami guru-guru TK, SD, SLTP, SMU. Sebelum pemutusan kontrak mereka tidak diberitahu sebelumnya (jauh-jauh hari) bahwa tak akan dipakai lagi atau diperpanjang kontraknya.

Di SMU peristiwa ini menimpa mis: P. Budi (Math), P. Supri (Komp), P. Anjar (PPKN, Antro), P. Awid (Geo)

SK mereka diberikan tgl 1 Juli 2003, dan SK nya bertanggal 1 Juli 2003! Dan P. Awid serta P. Anjar yang telah mencoba bertanya kepada kepala sekolah tentang mengapa mereka diberhentikan, mendapat jawaban "tidak tahu alasannya apa" dari kepala sekolah.

2. PHK dalam bentuk desakan mengundurkan diri atau dipecat, tetapi hingga hari ini SK nya belum turun, menimpa guru tetap: P. Mahendra. Nampaknya SK belum turun menunggu apakah P. Mahendra akan menandatangani surat pengunduran dirinya, atau memilih dipecat. Untuk kasus inipun, para kepala sekolah tidak dapat menjelaskan dengan tepat apa alasan atau dasar pemberhentian, kecuali pernyataan "atas desakan uskup".

3. MUTASI alias dipindahkan ke SLTP dialami oleh I. Kriss (Bio) dan P. Tius (B. Ing), dan kepada mereka yayasan memberi alasan yang sama sekali jauh dari kepentingan akademis, yaitu dibutuhkan untuk menghidupkan dan memberi suasana baru di SLTP.

SABTU 28 Juni 2003 Pk 13. 00 Para guru tetap SMU kumpul di ruang kls lantai 2, krn ada undangan rapat. Beberapa guru tetap tidak hadir karena tidak mengetahui harus rapat, sehubungan sudah pergi liburan. Pk 13. 15 rapat belum mulai, I Mary datang, meminta P. Mahendra menuju ruang P. Sujoko. Di sana sudah ada P. Sujoko dan I. Aimee (Koordinator Kepala-kepala SLTP & SMU). Di ruangan itu disampaikan keputusan yayasan untuk memberhentikan P. Mahendra dari kedudukannya sebagai staf pengajar Yayasan Mardiwijana/ Satyawinaya. P. Mahendra diminta memilih: mengundurkan diri atau dipecat. Ketika ditanyakan alasan atau dasarnya: kepala-kepala sekolah menyebut kesalahan masa lalu th 2001 dijadikan salah satu alasan, padahal kesalahan masa lalu itu telah membuahkan Surat Peringatan I, dan sanksi-sanksinya sudah dijalankan oleh P. Mahendra, dan selanjutnya diikuti dengan kinerja yang amat baik selama 2 tahun terakhir (yang diakui dengan tegas oleh P. Sujoko, I Mari, I. Rebekka (WKS bid Kurikulum). Para kepala sekolah sempat menyatakan juga: merasa sedih atas keputusan yayasan dan alasan yang diambil sebab bila SP I th 2001 yang dijadikan dasar, mereka merasa masa SP I itu sendiri sudah lewat. Kemudian para kepala sekolah menyebut yang rupanya menjadi alasan utama: yaitu adanya desakan uskup. Sebab beberapa hari sebelumkeputusan yayasan diambil, uskup (Alexander Djajasiswaja) datang ke kantor yayasan (Jl. Trunojoyo) dan memanggil kepala-kepala SMU, untuk mendesakkan kehendaknya memberhentikan P. Mahendra. Ketika ditanya alasannya, beliau mengatakan bahwa ada desakan masyarakat, dan masyarakat mana tak dapat disebutkan. I. Aimee kemudian menanyakan kepada P. Mahendra, apakah akhir-akhir ini ada masalah antara P. Mahendra dengan uskup atau paroki Katedral atau Gereja? Jawabannya: tidak ada masalah apapun, tidak ada konflik apapun, karena selama 12 thn terakhir, P. Mahendra tidak berurusan langsung dengan aktivitas keuskupan atau paroki katedral, kecuali 2 thn terakhir dalam kapasitas wakil ketua Sie. Liturgi Katedral, dan itupun rasanya tidak ada masalah dengan uskup. Dalam pertemuan, para kepala SMU dan I. Aimee menyatakan sudah mencoba berkali-kali memohon pada yayasan untuk mencegah keputusan tersebut, namun yayasan tidak dapat menolak apa yang mereka sebut desakan uskup itu. Setelah saat-saat yang emosional, P. Sujoko menyarankan agar P. Mahendra tidak melakukan perlawanan sambil mengingatkan bahwa kekuatan yang amat berkuasa dan kuatlah yang dihadapi. kemudian disampaikan pula bahwa sebuah yayasan katolik lain di bid pendidikan sudah dihubungi untuk membantu menerima P. Mahendra sebagai tenaga pengajar. Saat bersamaan dengan pertemuan di atas, para guru tetap di ruang kls serambi utama diberitahu oleh I. Rebekka dan P. Tri keputusan yayasan untuk memberhentikan P. Mahendra dan memutasikan beberapa guru (I. Kriss dan P. Tius) ke SLTP. Suasana ruang rapat itu kemudian dipenuhi suasana shock, marah, sedih yang mendalam, dan kekhawatiran. Ketika P. Mahendra dibawa menemui para guru tetap (atas permintaannya), suasana penuh isak-tangis pecah, danpara guru mencoba menguatkan dan menghibur P. Mahendra. Agak lebih siang lagi, para guru tetap memutuskan untuk mencari waktu menemui pimpinan yayasan.

SENIN 30 JUNI Sekitar pk 10. 30, para guru tetap SMU berkumpul di ruang yayasan. Ketua Yayasan (I. Shirley) hadir, tetapi setelah berbicara sebentar dengan Pst. Darno, OSC (Pengawas yayasan), beliau meninggalkan tempat tersebut, dan para guru diterima Pst. Darno, OSC. Para guru terutama menanyakan alasan pemberhentian P. Mahendra yang dijawab: "atas desakan uskup" dan uskup mengambil keputusan karena ada desakan masyarakat. Sambil juga menyebut: "yang hitam tetap hitam" Guru-guru kemudian mempertanyakan prosedur pemberhentian yang tidak melalui proses dan sistem yang wajar sesuai UU ketenagakerjaan: mestinya ada tahap-tahap teguran, peringatan-peringatan, pemberian kesempatan, dsb. Atas pertanyaan ini Pst. Darno menjawab bahwa yayasan hanya mengikuti cara-cara yang pernah dilakukan oleh pimpinan yang lama.

PERGULATAN DALAM DIRI P. MAHENDRA Bingung, pedih, marah, kecewa jelas menguasai P. Mahendra, setelah 14 thn mendarmabaktikan bakat-bakat, kompetensi, tenaga, pikiran, dan perasaan untuk ikut membangun St. Aloysius, dan merasa bahwa lebih banyak hal-hal baik, yang secara konkrit disumbangkan untuk St. Aloysius, ternyata terbalas dengan perlakuan seperti ini. Menolak dikuasai kebingungan, keputus-asaan, dan dikuatkan oleh banyak kenalan entah itu guru, sahabat, alumni, murid, orang tua murid, maka P. Mahendra mencoba mencari-cari beberapa pihak yang mungkin dapat memberi arahan dan pendampingan.

SELASA 1 JULI 2003 Di Jakarta, dalam 1 session pagi dan 1 session sore, P. Mahendra berbicara dengan seorang imam Yesuit, yang telah ia kenal dekat, dan juga berkecimpung di dunia pendidikan dan mengepalai sebuah sekolah katolik di Jakarta. Dalam pembicaraan itu P. Mahendra mengungkapkan semua yang dialami, dan mendapat beberapa pertanyaan mis:

1. Apakah surat peringatan atas kamu th 2001 itu sudah dianggap selesai oleh kepala-kepala SMU? Yang dijawab: ya, kepala-kepala SMU menyatakan bahwa masalah th 2001 itu sudah selesai.

2. Apakah kamu diberhentikan melalui proses evaluasi lebih dahulu, diikuti teguran, peringatan dan semacamnya? Yang dijawab: sejak SP1 th 2001, tidak pernah ada evaluasi dengan progress report, karena para guru di Aloysius memang rupanya tidak mengalami proses evaluasi resmi oleh Kepsek, tidak ada format penilaian resmi (DP3), dan bila ada sesuatu dilanggar, tidak ada teguran, pemanggilan, apalagi peringatan. Dan P. Mahendra sudah pernah bertanya kepada para kepala SMU, apakah kinerja saya buruk dalam 2 thn terakhir? Yang mendapat jawaban: justru itu, amat baik malahan! (P. Sujoko dan I. Mari)

3. Ketika diberitahukan kepada Romo Yesuit itu, bahwa yayasan mengambil keputusan atas desakan uskup, ia menukas: Tidak mungkin! Tapi bisa saja, yaitu bila uskup mendapat info menyesatkan tentang P. Mahendra, bila uskup disesatkan, bisa terjadi karena ada pihak-pihak yang memang ingin menyingkirkan P. Mahendra karena alasan-alasan tertentu. Dikatakan pula, bahwa seorang uskup punya suara moral, tetapi ia tidak dapat mengintervensi yayasan atau kepala sekolah untuk memutuskan sesuatu. Romo Yesuit dari Jakartaitu kemudian menghubungkan P. Mahendra dengan seorang Romo (Pastor) dari Bandung (bukan OSC) yang kebetulan menjabat pimpinan Komisi Peduli Pendidikan Jabar. Romo tersebut diminta oleh Romo Yesuit tersebut untuk mendampingi dan membantu penyelesaian kasus ini, sebab dalam kasus ini terjadi beberapa hal:

1. Seorang diberhentikan lewat proses tidak semestinya.

2. Alasan pemberhentian bahkan tidak ada yang kuat.

3. Ada kesan uskup melakukan intervensi thd yayasan dan kepala sekolah secara tidak tepat.

4. Ada kesan uskup dijadikan tameng oleh yayasan atau pihak-pihak tertentu di lingkungan itu.

5. kejadian ini memalukan dan menyakitkan, sebab terjadi di lingkungan pendidikan Katolik dan terjadi di tengah-tengah gencar-gencarnya Gereja melawan RUU Sisdiknas, dan menyuarakan pendidikan yang humanis, dialogis, demokratis, dan nilai-nilai kristiani. Dalam suatu rapat para pimpinan komisi peduli pendidikan se Indonesia di Jkt yang terjadi siang hari itu (1 Juli), kasus ini sempat disampaikan dalam rapat, jadi tanpa sengaja, kasus ini me nasional.

RABU 2 JULI 2003 Secara resmi, P. Mahendra mendapat pendampingan Komisi Peduli Pendidikan Jawa Barat dipimpin seorang pastor projo keuskupan, yang nampaknya punya akses kepada uskup. Pastor ini selalu menyebut diri pastor kaum jalanan. beliau memberikan arah jelas bagaimana menyelesaikan perkara ini secara baik, tetapi juga menyebut bakal siapnya LBH UNPAR menangani kasus ini, bila pihak yayasan berkeras tidak mau menyelesaikan dengan baik-baik.

JUMAT 4 JULI 2003 Beberapa guru yang berhati-nurani, yang punya komitmen akan keadilan dan kebenaran, yang tidak ingin melihat penindasan berlangsung atas para guru di Aloysius, beberapa di antaranya adalah korban PHK dan mutasi 1 Juli 2003, berkumpul bersama romo yang akan mendampingi untuk sharring dan menyusun cara-cara paling kristiani untuk menghadapi kasus ini. Pada prinsipnya: bila ada dasar yang masuk akal dan terbukti, bila ada sistem dan proses yang sesuai UU sudah dijalankan, suatu PHK dapat dilakukan, tetapi di Aloysius, tidak ada sistem, tidak ada proses, jadi suatu perlawanan harus dilakukan, bukan untuk meruntuhkan yayasan, bukan untuk merusak Aloysius, justru untuk menjamin terlindunginya SDM yang bernilai yang terus-menerus mendorong kemajuan Aloysius. Sebab apa yang sedang terjadi ini nyata-nyata menimbulkan ketakutan, keresahan, yang bukan tidak mungkin, malahan pasti: merusak suasana kerja, merusak semangat para guru, mematikan idealisme, membunuh dialog dan demokrasi. semuanya adalah awal kehancuran Aloysius. P. Mahendra menyatakan: tidak harus saya ngotot mesti di Aloysius, samasekali tidak. Bila memang tidak dikehendaki, bila ada kesalahan, dan harus pergi, saya akan pergi, tapi jalankanlah sistem dan proses, beri juga dasar yang nyata, yang terbukti.

P. Mahendra pada tgl 28 Juni lalu (Sabtu) tepatnya pukul 13. 25 mendapat pemberitahuan resmi dari Kepala SMU St. Aloysius 1 (I. Mariyati), Kepala SMU St. Aloysius 2 (P. Sujoko) dan Koordinator Kepala-kepala SLTP dan SMU St. Aloysius (I. Aimee) yang menyatakan bahwa Yayasan Mardiwijana/ Satyawinaya telah mengambil keputusan bulat untuk memberhentikan P. Mahendra dari SMU St. Aloysius 1 maupun SMU St. Aloysius 2.

Tentu teman-teman GB ers terkejut dengan berita ini, tentu saja saya yang menjadi korban keputusan itu lebih terkejut lagi, tapi kita lihat kronologinya:

* Menjelang Natal 2002 P. Mahendra mendapat sebuah surat kaleng yang tembusannya disampaikan kepada para kepala sekolah, para pimpinan yayasan, pengawas yayasan, bahkan uskup bandung. Surat yang mengatasnamakan orang tua murid ini mendesak supaya P. Mahendra diberhentikan dari St. Aloysius dengan beberapa alasan:

1. bangga bila memberikan ulangan susah-susah, dan nilai-nilai para muridnya buruk.

2. penampilan berpakaian yang terlalu modis yang membuatnya tidak pantas sebagai guru.

3. over acting, tidak mampu bekerjasama dengan orang lain karena di segala aktivitas berperan (MG, MPS, upacara, kerohanian, gambung, dll).

dll issue yang bukan saja talk dapat dibuktikan kebenarannya, tetapi hampir semuanya fitnah.

* Dalam silaturahmi semua guru di lingkungan St. Aloysius dari TK s/d SMU, awal Januari 2003, uskup dalam sambutannya membeberkan surat kaleng ini di hadapan semua guru yang hadir, tanpa sebelumnya pernah memanggil P. Mahendra untuk mengklarifikasi isi surat kaleng itu, apalagi membuktikan kebenaran isinya. Sayapun tidak pernah secara resmi diminta atau dipanggil oleh yayasan untuk menjelaskan kebenaran tuduhan-tuduhan dalam surat kaleng itu.

* 26-27 Juni 2003, tak lama setelah pembagian rapor kenaikan kelas, para guru SMU mengadakan tour ke Jakarta. dalam perjalanan pulang, diumumkan, bahwa Sabtu, 28 Juni pkl 13. 00 ada rapat khusus para guru tetap, yang sifatnya amat mendadak dan genting. beberapa guru tetap dipastikan tidak hadir karena sudah dalam kegiatan liburan mereka.

* 28 Juni 2003 pk 13. 00, para guru sudah berkumpul, tetapi pk 13. 15, I. Mariyati meminta P. mahendra untuk datang ke ruang kantor P. Sujoko di sayap timur, di sana sudah ada P. Sujoko dan I. Aimee (koordinator kepala-kepala SLTP dan SMU). Sementara di ruang di mana para guru berkumpul, masuk P. Tri dan I. Rebekka. Dalam waktu yang hampir bersamaan, kepada p. mahendra dan kepada semua guru tetap, disampaikan keputusan yayasan, bahwa P. mahendra diberhentikan, selain itu diberitahukan juga, bahwa I. Kris Yuliana, P. laurentius diturunkan ke SLTP, dan P. Yono tidak boleh mengajar kelas, hanya di bag komputer dan laboratorium.

Kami semua yang disebut nama-namanya di atas tidak pernah diberitahu sebelumnya, tidak pernah ada teguran tentang kinerja kami, tidak pernah ada peringatan, bahkan untuk saya (mahendra), para kepala sekolah dan I. Aimee memberitahukan pula kebingungan dan kesedihan mereka, karena tidak menemukan kesalahan apapun dalam diri dan kinerja P. mahendra dalam 2 tahun terakhir ini (sejak yayasan yang baru menduduki jabatannya). Keputusan pemberhentian ini menimbulkan kejutan memedihkan dalam hati saya, dalam hati semua guru yang hadir, juga dalam diri para kepala sekolah. Pedih karena latar belakang dan dasar yang digunakan nampak amat dibuat-buat.

Itulah kronologi seputar saat-saat diberitahukannya pemberhentian saya oleh pihak pimpinan yayasan. Dan menurut para kepala sekolah, keputusan itu diambil, terutama atas tekanan dan desakan uskup.

Para GB ers, saya, Mahendra, mempersilahkan kamu semua untuk menafsirkan dan menilai sendiri dari kronologi di atas, tentang apa yang saya alami. Di akhir thn ke-13 saya mengabdikan diri di Aloysius, setelah 13 tahun hidup saya dicurahkan untuk Aloysius (bukan hanya di SMU saja, tetapi terlibat di semua tingkat), setelah saya berikan apapun yang terbaik dari kemampuan saya, pengabdian saya akhirnya harus diakhiri dengan cara seperti di atas.

Tentu, kepedihan dan duka paling dalam bukan hanya dirasakan oleh saya sendiri, teman-teman guru amat terpukul, sedih, dan sangat kehilangan, sayapun amat kehilangan mereka yang bagi saya sudah seperti keluarga. Aloysius selama ini sudah jadi rumah pertama saya, bukan rumah ke dua. Saya akan kehilangan banyak: suasana kerja, teman-teman dari tingkat TK< SD< SLTP< SMU, tapi yang amat memedihkan saya adalah, saya akan kehilangan murid-murid yang saya kasihi, dan yang dalam hati saya yakin, membutuhkan saya untuk mendampingi mereka, bersama guru-guru yang lain. Saya akan kehilangan juga GITA BAHANA, karena dengan sendirinya kedudukan sebagai pembina GB tidak lagi pantas saya pegang.

Para GB ers, salib ini amat berat untuk saya, tak tertahankan! Tak tertahan bagi saya tak lagi berada di kelas, menghibur murid-murid dengan cerita-cerita sejarah, tak tertahan bagi saya, tak lagi aktif di sini dan di sana sesuai kepercayaan pimpinan sekolah kepada saya. Saya tidak lagi dapat meneguhkan, menghibur, memotivasi, menikmati keceriaan bersama-sama. Saya bukan hanya menanggung salib, saya disalibkan!

Saya tidak menemukan akan ada kesempatan, sebab di atas sana yang ada adalah uskup yang mahakuasa, yang sabdanya harus ditaati. Ia tidak menghendaki ada kerikil di alas kakinya atau debu di lantai yang dipijaknya. Dalam diri beliau, andaikan saya adalah dombanya dan beliau adalah gembala, saya tidak akan menemukan kenyataan ini: bila saya tersesat, saya akan dicari, bila saya hilang, saya akan ditemukan. Yang pasti terjadi adalah, bila saya sesat dan hilang, kandang akan ditutup, dan saya harus pergi sendiri.

GB ers terkasih. Terima kasih atas segala kesempatan bersama kalian semua, terima kasih atas kekayaan dari kebersamaan kita. Saya bangga Gita Bahana, dan pasti akan membantu bila kalian membutuhkan, saya belum tahu masa depan saya seperti apa nantinya, saya amat mengkhawatirkan orang-orang terkasih yang hdiupnya bergantung pada nafkah saya. Saya masih amat bingung, takut, tidak tahu arah. Doakanlah saya, doakanlah saya.

Cinta dan doa saya untuk GB, untuk para guru St. Aloysius, untuk semua murid dan alumnae terkasih di manapun.

E M E H
Mahendra

Dear GB ers di manapun, dan semua pemerhati SMU St. Aloysius, alumni maupun para orang tua.

Berikut saya sampaikan perkembangan terakhir kasus saya:

* Selasa, 30 Juni 2003 Pagi pk 08. 00, para guru tetap mulai berkumpul di sekolah, dan baru pk 10 an menemui pihak yayasan Mardiwijana untuk membicarakan hal keputusan yayasan tentang P. Mahendra. Ketua Yayasan, I. Shirley, datang sebentar, tidak untuk menemui para guru, hanya berbicara sejenak di luar ruang di mana para guru berkumpul dengan Pst. Sudarno, OSC (Pengawas Yayasan), sesudah itu pergi meninggalkan tempat.

* Sesudah itu, para guru diterima oleh Pst. Sudarno, yang dalam pertemuan menerima masukan, komentar, keluhan, bahkan kejengkelan para guru tetap tersebut. Para guru mempertanyakan sistem pemberhentian atau pemecatan guru yang menurut mereka sewenang-wenang, tanpa didasari alasan jelas, dan tanpa melalui tahap-tahap yang wajar dan adil. Tetapi Pst. Sudarno menjawab, bahwa pihak yayasan masih berpedoman pada cara-cara lama pemberhentian guru, mengadopsi cara-cara yang dipakai Orde Lama (Rezim Pst. van Iperen). Khusus tentang kasus P. Mahendra, Pst. Sudarno mengakui, bahwa keputusan untuk memberhentikan P. Mahendra, bersumber pada uskup bandung, dan pihak yayasan pun sudah mencoba untuk menghalangi ke luarnya keputusan tersebut, namun mereka tidak mampu dan tidak cukup kuat mencegah intervensi bapa uskup dalam urusan-urusan intern Aloysius. Ketika ditanyakan dasar atau alasan bapa uskup mengambil keputusan tersebut, pst. Sudarno menjawab: Tidak tahu, hanya bapa uskup yang tahu.

* Pada pagi hari yang sama sekitar pk 07. 00 - 08. 00, Bp. Pras, seorang dosen UNPAR, kakak seorang guru tetap SMU St. Aloysius, yang merasa prihatin bahwa kasus perlakuan sewenang-wenang ini terjadi di sebuah lembaga pendidikan yang memakai simbol-simbol Katolik dan nilai-nilai Kristiani, menemui bapa uskup di kediamannya (Jl. Jawa). Dalam pertemuan tersebut, ditanyakan dasar keputusan uskup memberhentikan P. Mahendra, dan bapa uskup tidak memberikan jawaban atau alasan, "Pokoknya diberhentikan, titik!" sambil menyebut adanya desakan masyarakat, tetapi tidak menyebutkan desakan masyarakat yang mana atau dari siapa (karena memang tidak ada, atau tidak mampu membuktikan).

Begitulah teman-teman, dan semua yang membaca message ini, dapat diperhatikan, bahwa keputusan memberhentikan saya bersumber pada opini sepihak uskup bandung, Mgr. Alexander Djajasiswaja, tanpa adanya alasan atau dasar pengambilan keputusan tersebut. Selain itu, saya mau memberitahukan, bahwa sejak saya mengenal bapa uskup (saya menjadi putra altar pada waktu beliau ditahbiskan uskup), tidak pernah saya terlibat konflik, tidak pernah saya merasa memusuhi beliau, tidak pernah saya ada urusan langsung dengan beliau. Ini menambah kenyataan bahwa sikap uskup memusuhi saya sangat tidak adil, tidak berdasar, dan berasal dari roh entah apa yang berkekuatan jahat.

Semoga semua dapat mencermati secara objektif, saya yang disalibkan, oleh hakim yang merasa suci dan adil, tidak punya maksud untuk memerangi keputusan beliau. Saya mendoakan bapa uskup dan merasa kasihan kepadanya. Doakanlah saya, teman-teman, doakanlah saya, agar saya dikuatkan.

mahendra

sumber: top.tamtamoneight.com